Jumat, 23 Mei 2008

SENI UKIR JEPERA



Mengukir Masa Depan di ''Kota Ukir'' (2-Habis)
Diharapkan Jangan sampai "Kepaten Obor"
SEKOLAH UKIR: Yoyo Susanto (21), alumnus SMIK Barito, Kalimantan Tengah, belajar mengukir di Sekolah Ukir Fedep Sukodono, Tahunan, Jepara.(57t) SM/Sukardi
ADA kekhawatiran seni ukir Jepara suatu saat nanti akan meredup. Salah satu alasannya, minat generasi muda untuk belajar menjadi ahli ukir semakin merosot. Kondisi demikian tidak lepas dari kebijakan pemberian muatan lokal seni ukir kepada murid, mulai tingkat dasar hingga menengah atas. Padahal, dulu di Jepara seni ukir sudah dikenalkan sejak sekolah dasar. Bahkan ada sekolah teknik (ST) setingkat SMP yang memberikan porsi besar pelajaran pada seni ukir. Selain itu ada SMP yang memberikan ekstrakurikuler keterampilan ukir kayu.
"Bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti seni ukir khas Jepara akan kepaten obor. Sebetulnya sekarang ini sudah ada lampu kuning. Misalnya, sekarang ini semakin sulit mencari pengrawit yang ahli dalam ukir relief dan ukir tiga dimensi," cetus Nurul Aini SIP SPd, Ketua Komisi C (antara lain membidangi pendidikan) DPRD Jepara.
Seni ukir, kata Nurul Aini, harus bisa dikuasai secara massal oleh anak-anak muda Jepara. Bahkan, sejak sekolah dasar, seni ukir bisa diperkenalkan sebagai muatan lokal. "Tidak ada ruginya menguasai seni ukir. Bahkan, bisa menjadi sumber penghasilan tambahan. Sewaktu saya bertugas di Irian Jaya dulu, saya pun membawa bekal seperangkat alat ukir," tambah Nurul Aini, yang kumisnya mirip ukiran.
Makanya, wakil rakyat yang juga guru ukir itu menyambut baik munculnya sekolah-sekolah ukir. Pemda Jepara sudah sepantasnya memberikan perhatian besar. Bisa saja pembinaannya melalui pendidikan luar sekolah Dinas P dan K. Untuk mengembangkan seni ukir khas Jepara memang tak bisa hanya mengandalkan lembaga pendidikan seperti SMKN 2 (dulu SMIK Negeri Jepara) ataupun Atika yang sekarang sudah berubah nama menjadi STTDNU. "Sekarang justru di SMIK peminat jurusan ukir merosot, sementara itu jurusan tata busana yang baru dibuka malahan banyak diminati."
Perhatian terhadap sekolah ukir boleh dikatakan masih minim. Kelas Pembangunan Tahunan Jurusan Ukir di tepi jalan raya sentra mebel ukir Tahunan, sejak sepuluh tahun lalu hingga kini kondisinya tak jauh berubah. Dari luar sepintas tampak seperti gedung SD kecil, karena hanya terdiri tiga kelas. Pengurus kelas ukir, HA Muryanto menuturkan, sekolah yang ia kelola mendapat bantuan guru negeri dari Pemda Jepara. Untuk aktivitas pendidikan mandiri, ongkos yang dibayar siswa dikembalikan untuk keperluan pendidikan sehari-hari termasuk peralatan ukir.
Menurut Muryanto yang juga guru ini, dia sudah sejak 1987 mengurus kelas ukir yang berada dekat dengan rumahnya. "Saya mengelola ini bersama Pak Fatchuri (guru kelas ukir) karena mengemban amanat almarhum Pak Sakur dan almarhum Pak Warno."
Kelas ukir dengan masa belajar setahun yang sudah berdiri puluhan tahun itu, ataupun sekolah ukir Fedep Sukodono yang baru berdiri dua tahun lalu, masih menjadi jujugan para pemuda yang ingin belajar ukir. Sebetulnya, bisa saja mereka langsung magang di perusahaan mebel dan bisa mendapat sekadar uang makan. Namun, belajar di lembaga pendidikan akan lebih terarah. Selain keahlian ukir, pertukangan kayu, mereka juga mendapatkan pembekalan manajemen usaha.
Sekolah ukir yang dikelola seperti lembaga kursus keterampilan itu, memang mempunyai elastisitas dalam kurikulum sesuai dengan tantangan dan kebutuhan. "Para siswa menempuh pendidikan selama sembilan bulan ditambah magang di perusahaan atau ikut pameran," kata Drs Bambang Kartono, Kepala Sekolah Ukir Fedep.
Ketika awal masuk, siswa mendapat pelajaran kompetensi dasar setelah tiga bulan diadakan ujian dan evaluasi. Yang lulus akan mendapat sertifikat. Untuk tiga bulan kedua, tingkat kompetensi terampil dan triwulan ketiga kompetensi mahir. Pengelola tak mematok biaya tinggi. Uang masuk Rp 10.000 dan uang bulanan Rp 15.000. Siswa tinggal di asrama gratis, bisa sambil berkebun. Untuk konsumsi sehari-hari biasanya membawa bekal bahan makanan dari rumah dan dimasak berkelompok.
"Siswa yang telah lulus akan memperoleh sertifikat sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, sehingga bisa menjadi bekal dalam masuk dunia kerja atau membuka lapangan pekerjaan sendiri," ujar Bambang yang juga dosen Sekolah Tinggi Teknologi dan Desain NU (STTDNU) Jepara.
Dalam aktivitas harian, siswa dibimbing instruktur Subandi. Siswa yang sebagian besar tinggal di asrama yang menyatu dengan gedung sekolah belajar mengambar dan mengukir. Bahkan manajemen usaha kelompok juga masuk dalam menu pendidikan. Misalnya, ada hasil karya anak yang laku terjual, sebagian masuk kas untuk kegiatan bersama. Untuk bahan praktik berupa kayu, mereka tidak kesulitan. Sebab, sejumlah perusahaan dengan sukarela mengirimkan kayu kepelan (sisa olahan) secara gratis. Dari kayu limbah itulah setelah dibuat berbagai suvenir ukiran bisa memiliki nilai jual tinggi.
Kerja sama pengembangan tak cukup dengan lembaga pendidikan, sekolah ukir juga menggandeng sejumlah perguruan dari luar kota. Satu di antaranya yang sudah berjalan Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta. Sejumlah mahasiswa Untar yang berkampus di kawasan Grogol Jakarta Barat itu, 29 Januari hingga 2 Maret 2005 mengadakan "Live-in 2005" di sekolah ukir dan sentra mebel ukir Sukodono. Acara itu merupakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sentuhan dunia kampus dengan "padepokan seni ukir" itu menghasilkan kerja sama yang saling menguntungan. Para mahasiswa membantu menciptakan desain-desain baru sebagai alternatif. Misalnya, memadukan seni ukir dan dekorasi.
"Pada tahap awal, saya membuat ukiran desain baru. Setelah itu kami serahkan kepada para siswa. Harapan ke depan karya anak-anak yang bagus bisa diikutkan dalam pameran. Dan, kami berharap bisa bekerja sama dengan perusahaan baik di sekitar lokasi sekolah maupun dari luar daerah," imbuh Subandi.
Sesuai konsep awal pendirian sekolah ukir, memang disiapkan untuk mandiri, dalam artian tidak tergantung dengan uluran tangan pemerintah. Sebaliknya, harus bisa hidup di tengah kawasan sentra mebel ukir. Dengan demikian, mati-hidupnya sekolah banyak ditentukan oleh dukungan masyarakat. Dalam istilah Bambang Kartono, eksistensi sekolah ukir tak sekadar berapa ahli ukir yang telah dihasilkan, melainkan sudahkah masyarakat merasa memiliki sekolah itu? (Sukardi-14v)

Tidak ada komentar: